Minggu, 14 Agustus 2011

Pahlawan Nasional Indonesia



Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta[1], (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 – meninggal di Maguwo, Yogyakarta, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun) atau sering dikenal dengan nama julukan “Karbol”[2] adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran Indonesia.

Masa kecil
Abdulrachman Saleh dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1909 di Jakarta. Pada masa mudanya, ia bersekolah di HIS (Sekolah rakyat berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini SLTP, AMS (Algemene Middelbare School) kini SMU, dan kemudian diteruskannya ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Karena pada saat itu STOVIA dibubarkan sebelum ia menyelesaikan studinya di sana, maka ia meneruskan studinya di GHS (Geneeskundige Hoge School), semacam sekolah tinggi dalam bidang kesehatan atau kedokteran. Ayahnya, Mohammad Saleh, tak pernah memaksakannya untuk menjadi dokter, karena saat itu hanya ada STOVIA saja. Ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat giat berpartisipasi dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia.
Kegiatan kedokteran dan militer
Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita menegnai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.
Akhir hidup
Pada saat Belanda mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri.
Tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi ijin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar.
Peristiwa heroik ini, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.
Abulrachman Saleh dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 Nopember 1974.
Pada tanggal 14 Juli 2000[1], atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.
Nama Ia diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh.
Referensi
[1]. “Dipindah, Kerangka Jenazah Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh”, Koran Kompas Cyber Media, Sabtu 15 Juli 2000.



Abdul muisAbdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir
Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Dia sempat menjadi Pemimpin Redaksi Kaoem Moeda sebelum mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan
Riwayat Perjuangan
  • Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
  • Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
  • Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
  • Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB)
Karya Sastra
  • Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
  • Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
  • Surapati (novel, 1950)
  • Robert Anak Surapati(novel, 1953)
Terjemahannya
  • Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
  • Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
  • Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
  • Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)





Sri Sultan Hamengkubuwana IX

Sri Sultan Hamengkubuwana IX - Uang KertasSri Sultan Hamengkubuwana IX (lahir di Sompilan Ngasem, Yogyakarta, 12 April 1912 – meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Biografi
Sri Sultan Hamengkubuwana IXLahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang University of Groningen), Belanda (“Sultan Henkie”).
Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo”. Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938
Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.
Silsilah
Sri Sultan Hamengkubuwana IX - Tahun 40anAnak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwono VIII dan istri kelimanya RA Kustilah/KRA Adipati Anum Amangku Negara/Kanjeng Alit.
Memiliki lima istri:
  1. BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama tahun 1940
  2. RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anum, putri Pangeran Mangkubumi, tahun 1943
  3. Raden Gledegan Ranasaputra/KRA Astungkara, putri Raden Lurah Ranasaputra dan Sujira Sutiyati Ymi Salatun, tahun 1948
  4. KRA Ciptamurti
  5. Norma Musa/KRA Nindakirana, putri Handaru Widarna tahun 1976
Memiliki lima belas putra:
  1. BRM Arjuna Darpita/KGPH Mangkubumi/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwono X dari KRA Widyaningrum
  2. BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/KGPH Adi Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan Dr. Sri Hardani
  3. BRM Ibnu Prastawa/GBPH Adi Winata dari KRA Widyaningrum, menikah dengan Aryuni Utari
  4. BRM Kaswara/GBPH Adi Surya dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan Andinidevi
  5. BRM Arumanta/GBPH Prabu Kusuma dari KRA Astungkara, menikah dengan Kuswarini
  6. BRM Sumyandana/GBPH Jaya Kusuma dari KRA Windyaningrum
  7. BRM Kuslardiyanta dari KRA Astungkara, menikah dengan Jeng Yeni
  8. BRM Anindita/GBPH Paku Ningrat dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Nurita Afridiani
  9. BRM Sulaksamana/GBPH Yudha Ningrat dari KRA Astungkara, menikah dengan Raden Roro Endang Hermaningrum
  10. BRM Abirama/GBPH Chandra Ningrat dari KRA Astungkara, menikah dengan Hery Iswanti
  11. BRM Prasasta/GBPH Chakradiningrat dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Lakhsmi Indra Suharjana
  12. BRM Arianta dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Farida Indah.
  13. BRM Sarsana dari KRA Ciptamurti
  14. BRM Harkamaya dari KRA Ciptamurti
  15. BRM Svatindra dari KRA Ciptamurti
Memiliki tujuh putri:
  1. BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anum dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata yang menjadi Gubernur Sulawesi Selatan
  2. BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murda Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan KRT Murda Kusuma
  3. BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riya Kusuma dari KRA Widyaningrum, menikah dengan KRT Riya Kusuma
  4. BRA Dr Sri Muryati/GBRAy Dr. Dharma Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan KRT Dharma Kusuma
  5. BRA Kuslardiyanta dari KRA Ciptomurti
  6. BRA Sri Kusandanari dari KRA Astungkara
  7. BRA Sri Kusuladewi/BRAy Padma Kusuma dari KRA Astungkara, menikah dengan KRT Padma Kusuma
Pendidikan
  • Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul
  • Eerste Europese Lagere School (1925)
  • Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung (1931)
  • Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Jabatan
  • Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
  • Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
  • Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
  • Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
  • Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)
  • Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
  • Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
  • Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
  • Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  • Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
  • Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
  • Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
  • Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
  • Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
  • Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.
Pranala:





Abdul Harris Nasution

Abdul Haris NasutionJenderal Besar TNI Purn. Abdul Harris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution.

Karir Militer
Abdul Haris Nasution 1Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.
Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan “Wapangsar” dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Gelar
Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Untuk mengetahui sepak terjang Abdul Harris Nasution, berikut wawancara Tempo Interaktif dengan beliau, yang dilakukan tanggal 1 Oktober 1996:
Wawancara Jenderal (Purn) AH Nasution: “Kalau Tak Ada Keadilan Sosial, Siapa Pun Bisa Membuat Aksi”.
Abdul Haris Nasution Tempo
PERSIS pada 1 Oktober lalu, TEMPO Interaktif mewawancarai Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution di rumahnya, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Di rumah itu, tepat hari itu 31 tahun lalu, mantan Panglima Angkatan Bersenjata RI dan Ketua MPRS itu lolos dari kepungan sekitar 90 pasukan Cakrabirawa, binaan tokoh PKI, Letkol Untung. “Saya melompat melalui tembok itu ke sebelah, tempat Kedutaan Irak,” ujar Pak Nas menunjuk tembok samping rumahnya setinggi sekitar 2,5 meter. Dia memanjat menara air di sana, dan bersembunyi di baliknya hampir setengah hari. Setelah malam jahanam yang menewaskan anaknya, Ade Irma Suryani Nasution, itu yang datang ke rumahnya bermacam ragam pasukan sehingga, “Tak jelas mana kawan dan mana lawan.” Setelah anak buahnya datang, baru Nasution melompat turun. “Karena berjam-jam jongkok, saya terjun ke bawah seperti batu jatuh. Saya ambruk. Lutut saya ini terkilir dan enam bulan saya harus pakai tongkat,” kata Pak Nas lagi. “Di sebelah sana itu rumahnya Piere (Tendean),” katanya lagi menunjuk rumah di sebelah kediamannya. Piere adalah salah satu korban PKI pada malam 30 September 1965.
Sisa-sisa keganasan pasukan Cakrabirawa itu masih bisa dijumpai di rumah itu. “Itu lihat, lobang peluru dari senjata AK,” katanya menunjuk lobang di kusen pintu ruang makannya. “Mereka berondong saja dari depan karena saya lari lewat lorong ini. Itu senjata sebenarnya masih belum dikeluarkan dari gudang Angkatan Darat, dikirim dari Peking sekitar seratus ribu pucuk,” kata bekas KSAD ini lagi, lalu tertawa.
Pada Toriq Hadad dari TEMPO Interaktif, orang Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara, kelahiran 3 Desember 1918, ini bicara banyak sambil sesekali menyeruput jus buah. Pak Nas menanggapi kritik Presiden Soeharto ke alamat para mantan pejabat yang dinilai tak konsisten memegang tekad Orde Baru, soal korupsi, soal konsensus nasional, soal partai politik dan Golkar. Berikut petikannya.

Ada kritik dari Presiden Soeharto, para mantan pejabat ada yang tak konsisten dengan tekad Orde Baru. Komentar Bapak?
Saya sebagai KSAD pernah menyampaikan agar kita kembali ke UUD 45. Waktu itu Soeharto masih letnan kolonel. Setelah saya dipecat oleh Bung Karno, datanglah ke rumah saya Bambang Sugeng yang baru naik pangkat menjadi mayor jenderal, waktu itu saya diperiksa Jaksa Agung untuk kasus Peristiwa 17 Oktober 1952 soal apakah benar saya ini mau kudeta. Bambang Sugeng bilang, “Pak Nas jangan terlalu risau. Saya sudah perintahkan staf di Angkatan Darat supaya adminitrasi–soal gaji, tunjangan, dan fasilitas lain–tidak akan dipotong.” Kesibukan setelah itu adalah menulis beberapa buku yang membuat saya harus minta izin Angkatan Darat untuk mewawancara tokoh-tokoh dari Sabang sampai Merauke. Tapi saya tak mendapat hambatan soal izin dan lainnya. Orang-orang Angkatan Darat itu yang mengurus, dan diantar ke rumah saya. Bahkan ada sumber-sumber yang saya wawancara itu datang sendiri ke rumah ini.
Nah, sekarang ini sudah 21 tahun saya dicekal. Setiap tentara yang datang ke rumah saya harus lapor intel. Pulangnya juga harus melapor ke sana. Soeharto sifatnya memang begitu, karena dia orang Jawa jadi kelihatannya hati-hati betul. Di jaman dulu tidak begitu. Contohnya datangnya Bambang Sugeng (KSAD pengganti Nasution, Red.) tadi. Malah penggerak Peristiwa 17 Oktober, Bambang Supeno, setelah kejadian itu datang pada saya untuk pinjam mobil menjemput mertuanya. Sekarang ini, bekas sopir saya pun kalau datang waktu Lebaran harus sembunyi-sembunyi.
Kepada siapa kritik itu dialamatkan dan apakah memang bekas pejabat tidak konsisten lagi?
Semua, semua kita ini kena karena tidak disebut siapa yang dikritik itu. Petisi 50 memang sudah lama tidak setuju dengan cara pelaksanaan konstitusi yang sekarang.
Catatan:
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana–dalihnya melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa. Pemicunya adalah pemilu yang tertunda-tunda yang dianggap hanyalah taktik DPRS (yang didukung Bung Karno) untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik intern militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan memburuk. Pada 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Bung Karno yang sering keluar-masuk Istana, mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS, menyatakan tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat (dipimpin Nasution). Bambang Supeno-lah yang melobi Bung Karno sampai Bambang Sugeng akhirnya mengganti Nasution sebagai KSAD. Nasution dipecat. Tujuh perwira daerah ada yang ditahan dan digeser kedudukannya.
Setelah Insiden 27 Juli di Jakarta, pemerintah mengindikasikan gejala lahirnya kembali komunisme dalam bentuk Partai Rakyat Demokratik, menurut Bapak?
Di koran-koran ucapan saya sudah dimuat. Setelah kejadian 27 Juli, ramai wartawan di depan rumah saya ini. Saya bilang persoalan komunisme tak begitu penting, yang utama adalah kalau tak ada keadilan sosial siapa pun bisa membuat aksi terhadap pemerintah. Itu saya alami ketika saya menjadi Ketua MPRS, saya pergi ke Manila ketika Presiden Marcos berkuasa. Di airport saya disambut Menlu Carlos Romulo. Di situ pers menanyakan kepada saya, “Anda baru saja lolos dari cengkeraman PKI, siapa musuh terbesar Indonesia?” Ketika itu saya sudah jawab, “Ketidakadilan sosial.” Jadi kalau keadilan tidak dijamin, siapa saja bisa mengacau. Di Manila waktu itu sebagian tentara sudah kesusupan komunis, saya didemonstrasi waktu berkunjung ke Istana Malacanang.
Menurut saya, ketidakadilan itu yang menjadi sumber. Dan saya membuat beberapa tulisan kemudian untuk membahas soal ketidakadilan itu dan diminta bicara oleh pemerintah Malaysia di Kualalumpur. Tapi saya dilarang oleh Benny Moerdani, waktu itu dia masih komandan intel di Jakarta.
Apakah Bapak melihat cara-cara anak-anak muda di bawah 30 tahun dalam PRD itu memang gelagat komunis?
Saya dengar pemimpinnya baru tamat dua tahun dari (Universitas) Gajah Mada. Masing-masing kita punya pendapat. Kalau diadili dan bisa dibuktikan, semua akan lebih jelas. Apakah dia ada hubungan dengan pihak luar negeri dan yang lain. Saya hanya baca dari koran dan mendengar televisi, tak membaca dokumen-dokumen laporan resmi. Tapi PRD rupanya dicurigai begitu jauh. Kalau dibawa ke pengadilan saya kira lebih jelas.
Bukankah anak-anak muda itu produk Orde Baru dan hidup selama 30 tahun dalam masa stabilitas nasional yang mantap. Lalu apa yang keliru?
Ini akibat pemerintah tidak mengatur begitu rupa agar bisa hidup lebih bebas. Saya sendiri mengalami, saya juga hidup di bawah tekanan selama 21 tahun. Dari sudut pandang pemerintah, tentu berpikir supaya jangan ada revolusi. Saya berpendapat aspirasi masyarakat yang tersumbat itu akan mencari jalan lain, seperti yang terjadi tahun 50-an ketika terjadi macam-macam pemberontakan.
Bagaimana Bapak melihat kebebasan berpendapat belakangan ini?
Sampai tingkat tertentu ditolerir, tapi Bakorstanas terus mengawasi sampai seberapa jauh “mulut orang itu miring”. Keadaan darurat Indonesia ini dimulai sejak Sidang MPRS pada 1968 sampai Try Sutrisno menjabat Panglima ABRI. Jadi, sudah 20 tahun berlangsung. Contohnya dalam hal pengangkatan anggota MPR. Saya sudah menandatangani ketetapan MPR bahwa semua anggota permusyawaratan dan perwakilan rakyat harus dipilih dan tidak ada yang diangkat. Itu ketetapan Nomor 11 (1968), menjelang Pemilu (1971). Sekarang ini seenaknya saja anggota-anggota (MPR) itu diangkat.
Bagaimana sejarah pendirian Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dulu?
Saya kira sekitar 1988 sudah diganti menjadi Bakorstanas. Tapi dalam praktiknya, karena sudah 20 tahun ada, orang melihat sosoknya masih tetap seperti yang lama.
Bapak dulu juga berperan dalam pendirian Kopkamtib, apakah tak ada batas waktu kapan lembaga itu harus dihapuskan?
Ya, saya juga dulu ikut berperanan. Kita menuntut supaya PKI dituntaskan. Pada waktu itu demonstrasi meningkat dan Bung Karno mengambil keputusan memberlakukan keadaan darurat militer (1 Oktober 1965). Persoalannya, Bung Karno masih membela PKI. Karena PKI hampir habis kita diatasi. Soeharto yang waktu itu jadi Panglima Kostrad bicara pada komandan-komandan batalyon bahwa tidak benar Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Sebelumnya, Aidit menyebarkan bahwa kalau Bung Karno sakit maka AD akan melakukan kudeta. Aidit ini baru dipanggil pulang oleh Subandrio dari Peking, bukan dari Moskow seperti banyak ditulis. Kalau ke Moskow saya lebih laku dari Aidit (tertawa). Dari Moskow kita sudah membeli senjata lebih dari US$1 miliar. Isteri saya bilang kok dulu tidak mengambil komisi barang satu persen saja…..(tertawa).
Catatan:
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) lahir pada 3 Oktober 1965. Ketika itu Jakarta dilanda ketegangan menyusul gagalnya kup G30S/PKI. Pangkopkamtib pertama adalah Jenderal Soeharto yang menjabat sampai Maret 1969. Soeharto digantikan Maraden Panggabean dan wakilnya adalah Soemitro. Yang terakhir ini menjabat Pangkopkamtib pada 1971. Jabatan ini pada 1974 kembali ke tangan Presiden Soeharto, lalu Sudomo (1974), Benny Moerdani (1983), dan dihapuskan pada 1988. Muncullah Bakorstanas.
Adanya dua parpol dan satu Golkar seperti sekarang ini kabarnya didasari oleh konsensus nasional, juga beberapa UU di bidang politik. Apakah benar konsensus nasional itu tak boleh diutak-utik?
Tak ada itu keputusan tentang konsensus nasional. Saya buat beberapa tulisan, saya bahas di situ bahwa tidak ada itu konsensus nasional. Kecuali yang diputuskan MPR. Sekarang ini semua orang bilang bahwa ABRI di DPR itu konsensus nasional. Saya bilang tak ada konsensus kecuali dari keputusan MPR. Saya dulu wakil ketua, waktu kita membuat UU pemilihan (umum) yang baru, ketuanya adalah Prof. Mohamad Yamin, wakilnya juga Idham Chalid (NU). Aidit juga ikut di dalamnya. Keputusan kami, MPRS berfungsi terus sampai terpilihnya MPR hasil Pemilu (1971). Itu tertulis. Tapi dalam praktiknya, saya tidak tahu lagi karena saya diberhentikan dan Pangkopkamtib jadi sangat berkuasa.
Apakah benar dalam konsensus nasional itu diputuskan model kepartaian seperti sekarang ini?
Yang disebut konsensus itu sendiri saya bantah dalam tulisan-tulisan saya. Kalau menjadi keputusan majelis, baru konsensus namanya. Pemerintah saja yang bicara konsensus.
Bagaimana dengan tiga kekuatan sospol yang sekarang ini sudah memadai dan ideal?
Memadai atau tidak itu terserah masyarakat. Tapi satu hal yang jelas munculnya PNI-Baru, Masyumi Baru, dan lainnya itu kan tambah kacau. Tapi melarang kan pemerintah tak bisa, undang-undangnya mana untuk melarang. Jadi tambah kacau. Kacau berpikir kita juga karena musti memperhitungkan mereka semua.
Mengapa yang “baru-baru” tadi bermunculan?
Akibat perkembangan politik sekarang. Orang tidak puas dengan sistem yang ada sekarang. Kemudian bikin gerakan. Contohnya lagi adalah munculnya banyak LSM. Ikut pemilu kan mereka tidak, tapi mereka tak setuju dengan undang-undang kepartaian yang sekarang ini membentuk Golkar, PDI dan PPP.
Bagaimana dengan Golkar yang terus dipertahankan sebagai single majority?
Itu logis saja. Sebenarnya saya juga yang mendirikan Golkar. Asal mula Golkar itu sederhana sekali. Dulu di jaman Bung Karno ada upaya mengumpulkan semua kekuatan. Maka hanya boleh ada tiga kekuatan yaitu nas(ional), a(gama), kom(unis). Saya tolak konsep itu. Karena menurut saya ada ratusan profesi di luar itu, seperti sarjana dan lainnya. Saya tak setuju karena saya ingin berjuang untuk mereka juga. Konflik saya dengan istana itu sudah dekat-dekat G30S/PKI. Bung Karno waktu itu pernah berpidato menirukan omongan PM Selandia Baru dari partai buruh, “Left is right.” (kiri adalah benar, red.). Saya balas bahwa saya tak bisa terima itu. Kalau dulu konflik seperti ini terang-terangan dan dimuat di koran-koran. Itu sudah biasa.
Jadi bagaimana dengan pernyataan KSAD Jenderal Hartono bahwa ABRI itu adalah kader Golkar?
Ketika keluar pernyataan itu Petisi 50 sudah membantah. Kita mengirim surat (ke DPR) bahwa itu tak benar.
Bapak juga pencetus Dwifungsi ABRI, bagaimana ide sebenarnya?
Saya pernah bicara soal ini di dies natalis Akabri di Magelang setahun setelah berdiri lembaga itu. Tanpa teks saya bicara. Kita (ABRI) sebenarnya di bidang politik berfungsi sebagai alat dari partai. Tapi ABRI di Indonesia juga tidak berkuasa sendiri. Tidak memonopoli kekuasaan. Istilah saya ketika itu, ABRI bahu-membahu dengan kekuatan lainnya untuk meneruskan pembangunan nasional kita. Itu yang saya ucapkan. Memang tidak ada teksnya.
Jadi tepatnya apakah posisi ABRI itu tut wuri handayani, atau apa?
Saya jangan ditanya soal itu, saya tak tahu istilah itu. Saya tak ikut merumuskan posisi itu.
Idealnya di mana posisi ABRI dalam pembangunan seharusnya, menurut Bapak?
Kita adalah salah satu kekuatan, potensi, dari kekuatan sospol di negara ini. Jadi posisinya adalah bahu-membahu. Istilah bahu-membahu ini begitu sering saya ucapkan, sehingga ketika saya sekali waktu berkunjung ke Polandia, Menteri Pertahanan Polandia katakan pada saya, “Bahu membahu.”
Bagaimana pelaksanaan Dwifungsi ABRI sekarang ini? Benarkah ada yang melenceng dari konsep Bapak?
Ya, melenceng. Yang saya katakan kan kita (ABRI) adalah salah satu kekuatan dan potensi perjuangan rakyat. Dalam posisi bahu-membahu itulah kita bersama-sama rakyat membangun Indonesia di masa yang akan datang. Jadi, bukan menguasai. Jangan terlalu dominan. Dwifungsi itu, menurut teori yang saya ucapkan, sesuai dengan doktrin yang diperjuangkan Menteri Pertahanan Bung Hatta, tidak demikian. Rakyatlah yang berdwifungsi. Karena rakyat itu bisa masuk milisi, dan nantinya kembali ke pekerjaan semula. Kalau kembali, ya, tidak dibayar negara lagi, ini juga menghindari korupsi.
Bapak menyebut korupsi, mungkinkah dicegah?
Saya kira sudah sulit. Sampai Ketua Mahkamah Agung saja terkena. Sebenarnya Bung Hatta pernah menyebut korupsi itu membudaya. Kata Bung Hatta ini semua karena belum berfungsinya lembaga-lembaga negara sesuai UUD 45. Saya dan Bung Hatta pernah melahirkan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Tapi tak dilaksanakan. Akhirnya yang mampu, ya, non-pribumi itu lagi. Korupsi bisa diberantas kalau dimulai dan dipimpin (pemberantasannya) oleh yang paling atas. Saya berkali-kali membuat gerakan anti korupsi, tapi kekuasaan saya akhirnya direbut, dan hasilnya ya begitu-begitu saja.
Apa lagi yang Bapak lihat mendesak untuk dilakukan?
Kita harus betul-betul mengamalkan secara murni dan konsekuen UUD ’45. Pasal 28, misalnya, sudah dijamin kebebasan dan hak orang untuk mengemukakan pendapat dan berserikat. Bung Hatta pernah bilang, hak ini harus dijaga. Kalau satu kali lepas dari tangan rakyat, tak akan bisa didapat kembali. Bung Hatta sudah memperingatkan itu.
Orang bicara soal suksesi, apakah generasi pasca 45 sudah siap?
Tuhan itu adil. Dia tak akan memberikan tugas-tugas hebat pada Angkatan 45 saja. Pada angkatan berikutnya juga, tapi mereka harus berani menghadapi tantangan dan memecahkannya. Saya optimis akan hal itu.
Catatan:
  • Biografi Abdul Harris Nasution diambil dari Wikipedia.
  • Wawancara, diambil dari Tempo Interaktif, Edisi 32/01 – 02/Okt/1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar